“ Perlindungan Konsumen, Anti Monopoli Dan
Persaingan Tidak Sehat Serta Penyelesaian Sengketa “
BAB 11 - PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Konsumen
Pengertian Konsumen Menurut Para Ahli
Menurut Sri Handayani (2012: 2) konsumen
(sebagai alih bahasa dari consumen), secara harfiah berarti" seseorang
yang membeli barang atau menggunakan jasa''; atau ''seseorang atau sesuatu
perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu'' juga
''sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah
barang", ada pula yang memberikan arti lain yaitu konsumen adalah ''setiap
orang yang menggunakan barang atau jasa dalam berbagai perundang-undangan
negara”.
Sejalan dengan Sri Handayani, Az. Nasution
(dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009: 25) juga menjelaskan beberapa batasan
tentang konsumen, yakni:
Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan
barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;
Konsumen antara adalah setiap orang yang
mendapatkan barang dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa
lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);
Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang
mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan
kembali (nonkomersial).
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 2 UU
Perlindungan Konsumen pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
Menurut Dewi (2013:1), konsumen adalah
seseorang yang menggunakan produk dan atau jasa yang dipasarkan. Sedangkan
kepuasan konsumen adalah sejauh mana harapan para pembelian seorang konsumen
dipenuhi atau bahkan dilebihi oleh sebuah produk. Jika harapan konsumen
tersebut dipenuhi maka ia akan merasa puas, dan jika melebihi harapan konsumen,
maka konsumen akan merasa senang.
Pengertian Konsumen menurut Philip Kotler
(2000) dalam bukunya Prinsiples Of Marketing adalah semua individu dan rumah
tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.
Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di
dalam pergaulan hidup (Shidarta, 2000:9).
Sedangkan menurut Sidobalok (2014:39), hukum
perlindungan konsumen adalah keseluruhan Peraturan dan hukum yang mengatur
hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatur upaya-upaya untuk menjamin
terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.
Perlindungan konsumen diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK 8/1999) tentang Perlindungan Konsumen,
menyebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Hukum
perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban
produsen/pelaku usaha, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan
kewajiban itu (Sidobalok, 2014:37).
Perintis adanya hukum perlindungan konsumen
di Indonesia adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang didirikan
pada 11 Mei 1973. YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional)
membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada tahun 1990.
Rancangan hukum perlindungan konsumen juga didukung oleh Departemen Perdagangan
atas desakan lembaga keuangan internasional (IMF/International Monetary Fund)
sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000 (Nasution, 1995:72).
B. Asas Dan Tujuan
Asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal
2 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut :
Asas Manfaat
Segala upaya yang dilakukan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Dengan kata
lain, tidak boleh hanya salah satu pihak saja yang memperoleh manfaat,
sedangkan pihak lain mendapatkan kerugian.
Asas Keadilan
Dalam hal ini, tidak selamanya sengketa
konsumen di akibatkan oleh kesalahan pelaku usaha saja, tetapi bisa juga di
akibatkan oleh kesalahan konsumen yang terkadang tidak tahu akan kewajibannya.
Konsumen dan produsen/pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan
kewajiban secara seimbang.
Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk
memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pelaku usaha dan
konsumen. Menghendaki konsumen, produsen/pelaku usaha dan pmerintah memperoleh
manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan
konsumen.
Asas Keamanan dan Keselamatan
Asas ini bertujuan untuk memberikan adanya
jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang
dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam
ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.
Asas Kepastian Hukum
Asas ini bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan menjalankan apa yang
menjadi hak dan kewajibannya. Tanpa harus membebankan tanggung jawab kepada
salah satu pihak, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah :
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
Mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi,
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha,
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa
yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
C. Hak Dan Kewajiban Konsumen
Istilah perlindungan konsumen berkaitan
dengan perlindungan hukum. Dengan keinginan untuk memberikan perlindungan
terhadap kepentingan konsumen, maka kepentingan-kepentingan itu dirumuskan
dalam bentuk hak. Secara umum terdapat empat hak dasar konsumen yang diakui
secara internasional yaitu: Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to
safety), Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), Hak untuk
memilih (the right to choose), Hak untuk didengar (the right to be heard)
(Shidarta, 2000:16).
Hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu
sebagai berikut :
1.Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan atau jasa.
2.Hak untuk memilih barang dan jasa serta
mendapatkan barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.
3.Hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi jaminan barang dan atau jasa.
4.Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan atau jasa yang digunakan.
5.Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan
dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6.Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen.
7.Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8.Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi
atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9.Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK
8/1999, yaitu sebagai berikut:
1.Membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan
keselamatan.
2.Bertikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan jasa.
3.Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati.
4.Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
D. Hak Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999 hak dan kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut:
Hak Pelaku Usaha
1.Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai
dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
2.Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari
tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
3.Hak untuk melakukan pembelaan diri
sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
4.Hak untuk rehabilitas nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan
5.Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Pelaku Usaha
1.Beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya
2.Memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
3.Memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif
4.Menjamin mutu barang atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutut barang
dan atau jasa yang berlaku
5.Memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan
atau garansi atas barang yang dibuat atau diperdagangkan
6.Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau
pengganti atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan
7.Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
E. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi
pelaku usaha adalah larangan dalam memproduksi/memperdagangkan, larangan dalam
menawarkan / mempromosikan / mengiklankan, larangan penjualan secara
obral/lelang, dan larangan dalam ketentuan periklanan.
Larangan dalam Memproduksi/Memperdagangkan
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan dan/atau jasa yang :
1.Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
standar yang di persyaratkan dan ketentuan perundang-undangan
2.Tidak sesuai dengan berat bersih, isi
bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam
lebel atau etiket barang tersebut.
3.Tidak sesuai dengan ukuran, takaran,
timbangan, dan jumlah dalam hitungan dalam menurut ukuran yang sebenarnya.
4.Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan,
keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
5.Tidak seusai dengan mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolaan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan jasa tersebut.
6.Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan jasa
tersebut.
7.Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau
jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
8.Tidak mengikuti ketentuan berproduksi
secara halal, sebagaimana dinyatakan “Halal” yang dicantumkan dalam label
9.Tidak memasang label atau membuat
penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat
pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan menurut ketentuan harus
dipasang/dibuat
10.Tidak mencantumkan informasi dan/atau
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
prundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, pelaku usaha dilarang
memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa
informasi secara lengkap dan benar atasa barang yang dimaksud.
Sementara itu, pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran atas larangan diatas, dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa
tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Larangan dalam Menawarkan / Mempromosikan / Mengiklankan
Pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan suatau barang dan/atau jasa secara tidak benar,
dan/atau seolah-olah :
1.Barang tersebut telah memenuhi atau
memiliki potongan harga, harga khusus, standart mutu tertentu, gaya atau mode
tertentu, karajteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu
2.Barang tersebut dalam keadaan baik atau
baru
3.Barang atau jasa tersebut telah mendapat
atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,
ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
4.Barang atau jasa tersebut dibuat oleh
perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi
5.Barang atau jasa tersebut tersedia
6.Barang tersebut tidak mengandung cacat
tersembunyi
7.Barang tersebut merupakan kelengkapan dari
barang tertentu
8.Barang tersebut berasal dari daerah
tertentu
9.Secara langsung atau tidak langsung
merendahkan barang dan jasa lain
10.Menggunakan kata-kata yang berlebihan
seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko, atau efek sampingan
tanpa keterangan yang lengkap
11.Menawarkan sesuatu yang mengandung janji
yang belum pasti.
Dengan demikian, pelaku usaha dalam
menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak
benar atau menyesatkan, misalnya :
Harga atau tarif suatau barang atau jasa
Kegunaan suatu barang atau jasa
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas
suatu barang atau jasa
Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang
ditawarkan
Bahaya penggunaan barang atau jasa
Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau
jasa, dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang daoat
menimbulkan gangguan, baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Sementara itu, pelaku usaha dalam menawarkan
barang atau jasa melalui pesanan dilarang, misalnya :
Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu
penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan
Tidak menepati janji atau suatu pelayanan atau prestasi
Larangan dalam Penjualan Secara Obral/Lelang
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan
melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen,
antara lain :
1.Menyatakan barang atau jasa tersebut
seolah-olah telah memenuhi standart mutu tertentu
2.Menyatakan barang atau jasa tersebut
seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi
3.Tidak berniat menjual barang yang
ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain
4.Tidak menyediakan barang dalam jumlah
tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang lain
5.Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas
tertentu atau dalam jumlah cukup ddengan maksud menjual jasa yang lain
6.Menaikan harga atau tarif barang dan jasa
sebelum melakukan obral.
Larangan dalam Periklanan
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi
iklan, misalnya :
1.Mengelabui konsumen mengenai kualitas,
kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang atau tarif jasa, serta ketepatan
waktu penerimaan barang atau jasa.
2.Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang
atau jasa tersebut
3.Memuat informasi yang keliru, salah atau
tidak tepat mengenai barang atau jasa
4.Tidak memuat informasi mengenai risiko
pemakaian barang dan atau jasa
5.Mengeksploitasi kejadian atau seseorang
tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan
6.Melanggar etika atau ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai periklanan
F. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab
atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung gugat produk timbul
dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “produk yang
cacat”, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai
dengan yang diperjanjikan / jaminan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku
usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan
melawan hukum.
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
diatur Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Dalam Pasal 19 mengatur tanggung jawab
kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan
dengan memberi ganti rugi kerugian atau kerusakan, pencemaran, kerusakan,
kerugian konsumen.
Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi
berupa pengembalian uang, penggantian barang atau jasa yang sejenis atau setara
nilainya, perawatan kesehatan atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara itu, Pasal 20 dan 21 mengatur beban
dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
melakukan pembuktian, sedangkan Pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap
ada tidakya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 19.
Dengan demikian, peradilan pidana kasus
konsumen menganut sistem beban pembuktian terbalik. Jika pelaku usaha menolak
atau tidak meberi tanggapan dan tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen maka menurut Pasal 23 dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan ditempat kedudukan konsumen.
Pelaku usaha yang menjual barang atau jasa kepada pelaku
usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen
apabila :
1.Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen
tanpa melakukan perubahan apapun atas barang atau jasa tersebut.
2.Pelaku usaha lain di dalam transaksi jual
beli tidak mengetahui adanya perubahan barang atau jasa yang dilakukan oleh
pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh mutu dan komposisi.
Pelaku usaha sebagaimana dimaksdu pada ayat
(1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan
konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang atau jasa menjual
kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang atau jasa
tersebut.
Di dalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan
pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang di derita konsumen,
apabila:
1.Barang tersebut terbukti seharusnya tidak
diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan.
2.Cacat barang timbul pada kemudian hari. Cacat
timbul di kemudian hari adalah seduah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku
usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan.
3.Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan
mengenai kualifikasi barang. Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah
ketentuan standardisasi yang telah ditetapkan pemerintah berdassrkan
kesepakatan semua pihak.
4.Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
5.Lewatnya jangka waktu penentuan 4 tahun
sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Jangka waktu
yang diperjanjikan itu adalah garansi.
G. Sanksi Pidana
Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa bagi pelaku usaha yang melanggar aturan
terhadap konsumen maka dikenakan sanksi pidana.
Menurut UU Nomor 8 Tahun 1999, sanksi pidana yang
dimaksud dijelaskan sebagai berikut :
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap
pelaku usaha dan/ atau pengurusnya.
Pasal 62
(Ayat (1))
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15,
pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Maksudnya adalah yang melanggar yang dimaksud oleh pasal
62 ayat (1) adalah pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang
yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan,
kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang
rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan
klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian ( pasal 18 ayat 1 huruf b
).
(Ayat (2))
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, pasal 12, pasal 13 ayat (1), pasal 14,
pasal 16, dan pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Maksudnya adalah yang melanggar yang dimaksud pasal 62
ayat (2) adalah pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan
mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang
sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan
yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha
periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko
pemakaian barang/jasa.
(Ayat (3))
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka
berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana
yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
Perampasan barang tertentu;
Pengumuman keputusan hakim;
Pembayaran ganti rugi;
Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;
Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
Pencabutan izin usaha.
Sanksi Administratif dan Sanksi Perdata bagi Pelaku Usaha
Sanksi administratif bagi pelaku usaha
dijelaskan dalam pasal 60 UU Nomor 8 Tahun 1999 sebagai berikut :
(Ayat (1))
Badan penyelesaian sengketa konsumen
menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar pasal
19ayat (2) dan ayat (3), pasal 20, pasal 25 dan pasal 26.
(Ayat (2))
Sanksi administratif berupa penetapan ganti
rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(Ayat (3))
Tata cara penetapan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan.
Sanksi perdata bagi pelaku usaha yang
melanggar adalah ganti rugi dalam bentuk :
Pengembalian uang atau
Penggantian barang atau
Perawatan kesehatan, dan/atau
Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7
hari setelah tanggal transaksi.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang
disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi
bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu
pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang.
Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota
pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”
dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5
(lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada
gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa
klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli
tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para
pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi
dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut,
ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral
supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah
dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan
pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam
pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyakRp.500
juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang
berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia
perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang
jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan
konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi
urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat
(3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi
pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian.
Sanksi Bagi Konsumen
Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tidak dicantumkan
tentang sanksi konsumen karena UU tersebut khusus dibuat untuk melindungi
konsumen. Namun, apabila konsumen melakukan pelanggaran seperti penipuan,
pencemaran nama baik dan lain-lain, maka hal tersebut termasukWanprestasi,
yaitu tidak dilaksanakannya suatu perjanjian atau kewajiban sebagaimana yang
telah disepakati bersama (cidera janji). Apabila hal tersebut terjadi, maka
produsen atau pelaku usaha berhak untuk menuntut konsumen sesuai dengan
pelanggaran yang dilakukan konsumen. Tuntutan tersebut dapat berupa ganti rugi
kepada pelaku usaha sampai dengan hukuman pidana kurungan. Pelaku usaha juga
memiliki hak untuk mendapatkan kembali pemulihan nama baik usahanya.
BAB 12 - ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK
SEHAT
A. Pengertian
Secara etimologi, kata “monopoli” berasal
dari kata Yunani ‘Monos’ yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti
penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas memberi pengertian
monopoli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan
(supply) suatu barang atau jasa tertentu. (Arie Siswanto:2002).
Disamping istilah monopoli di USA sering
digunakan kata “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti
monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya
juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”. Disamping itu terdapat istilah yang
artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata
tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah
“dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut
dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar,
dimana di pasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial,
dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk
tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum
tentang permintaan dan penawaran pasar.
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat didasarkan pada
Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 382 bis KUH
Pidana.
Berdasarkan rumusan Pasal 382 bis KUH Pidana,
seseorang dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus ribu rupiah
atas tindakan persaingan curang bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut
:
1.Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan
sebagai persaingan curang.
2.Perbuatan persaingan curang dilakukan dalam
rangka mendapatkan, melangsungkan, dan memperluas hasil dagangan atau
perusahaan.
3.Perusahaan, baik milik pelaku maupun
perusahaan lain, diuntungkan karena persaingan curang tersebut.
4.Perbuatan persaingan curang dilakukan
dengan cara menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu.
5.Akibat dari perbuatan persaingan curang
tersebut menimbulkan kerugian bagi konkruennya dari orang lain yang diuntungkan
dengan perbuatan pelaku.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan
pengertian monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu
kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap
orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.
Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat dianggap secara bersama-sama
melakukan penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa, jika kelompok
usaha menguasai lebih dari 75% pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dengan demikian praktik monopoli harus dibuktikan dahulu adanya unsur yang
mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan
antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum
atau menghambat persaingan usaha.
B. Asas Dan Tujuan
Dalam melakukan usaha di Indonesia, pelaku
usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan umum dan pelaku usaha.
Sementara itu tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
adalah sebagai berikut :
1.Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
2.Mewujudkan iklim usaha yang kondusif
melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya
kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah, dan
kecil.
3.Mencegah praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4.Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha.
C. Kegiatan Yang Dilarang
Dalam UU No.5 Tahun 1999,kegiatan yang
dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak
memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari
kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan
disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang
dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang
adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang
tersebut yaitu :
Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan pemasaran
barang atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha.
Undang-undang no.5 tahun 1999 merumuskan
beberapa kriteria sebagai berikut :
1.Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan
atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2.Pelaku usaha patut diduga atau dianggap
melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
sebagaimana maksud dalam ayat (a) apabila: barang dan atau jasa yang
bersangkutan belum ada subtitusinya;
3.Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat
masuk dalam persaingan dan atau jasa yang sama; atau
4.Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha menguasai lebih dari 50 % (lima puluh persen) pasangsa pasar atau jenis
barang atau jasa tertentu.
Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar
yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
mengatur tentang larangan praktik monopsoni, yaitu sebagai berikut.
1.Pelaku usaha dilarang melakukan menguasai
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam
pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
2.Pelaku usaha patut diduga atau dianggap
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (a) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Penguasaan Pasar
Di dalam UU no.5 tahun 1999 Pasal 19,bahwa
kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat yaitu :
1.Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha
tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
2.Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku
usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya;
3.Membatasi peredaran dan atau penjualan
barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
4.Melakukan praktik diskriminasi terhadap
pelaku usaha tertentu.
Persengkongkolan
Persekongkolan berarti berkomplot atau
bersepakat melakukan kecurangan. Ada beberapa bentuk persekongkolan yang
dilarang oleh UU Nomor 5 Th. 1999 dalam Pasal 22 sampai Pasal 24, yaitu sebagai
berikut :
1.Dilarang melakukan persekongkolan dengan
pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
2.Dilarang bersekongkol dengan pihak lain
untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan
rahasia perusahaan.
3.Dilarang bersekongkol dengan pihak lain
untuk mengahambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha
pesaing dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan menjadi
berkurang, baik jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang disyaratkan.
Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal
1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan
suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam
kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan,
serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa
tertentu.
Persentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha
sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi dominan sebagaimana ketentuan di
atas adalah sebagai berikut :
1.Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2.Dua atau tiga pelaku usaha satau satu
kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa.
Jabatan rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan direksi atau komisaris
suatu perusahaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris perusahaan
lain pada waktu yang bersamaan apabila :
1.Berada dalam pasar bersangkutan yang sama.
2.Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang
dan atau jenis usaha.
3.Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar
barang dan atau jasa tertentu yang dapat menimbulkan praktik monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat.
Pemilikan saham
Pelaku usaha dilarang memiliki saham
mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam
bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa
perusahaan yang sama bila kepemilikan tersebut mengakibatkan persentase
penguasaan pasar yang dapat dikatakan menggunakan posisi dominan (UU Nomor 5
Tahun 1999 Pasal 27).
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam menjalankan perusahaan, pelaku usaha
yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum, yang menjalankan
perusahaan bersifat tetap dan terus-menerus dengan tujuan mencari laba, secara
tegas dilarang melakukan tindakan penggabungan , peleburan, dan pengambilalihan
yang berakibat praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (UU Nomor 5 Tahun
1999 Pasal 28). Hanya penggabungan yang bersifat vertikal yang dapat dilakukan
sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 14.
D. Perjanjian Yang Dilarang
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH
Perdata, UU No.5 tahun 1999 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai
subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai
suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap
satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun
tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan
”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih
sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti
Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5 Tahun 1999
masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman
Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit
agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih
luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive
behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang
Anti Monopoli .
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5 Tahun
1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut :
Oligopoli
Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan
produsen dan pembeli barang berjumlah sedikit sehingga dapat mempengaruhi
pasar, maka:
1.Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha dengan secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
2.Pelaku usaha patut diduga melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa bila dua atau tiga
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu.
Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
1.Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
2.Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
3.Perjanjian dengan pelaku usaha pesaing
untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
4.Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
dari harga yang telah dijanjikan.
Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan membagi wilayah pemasaran atau
lokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk
melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar
negeri.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau
jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat :
1.Merugikan atau dapat diduga akan merugikan
pelaku usaha lain,
2.Membatasi pelaku usaha lain dalam menjaul
atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa.
Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup tiap perusahaan atau peseroan anggotanya yang bertujuan
mengontrol produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa
dalam suatu pasar komoditas, diantaranya :
1.Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai pembelian atau penerimaan
pasokan secara bersama-sama agar dapat mengendalikan harga barang atau jasa
dalam pasar yang bersangkutan.
2.Pelaku usaha dapat diduga atau dianggap
secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan apabila dua
atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang
termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana
setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan baik
dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan
atau jasa tersebut kepada pihak dan atau tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan
atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari
pelaku.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa yang
membuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari
pelaku usaha pemasok, antara lain :
1.Harus bersedia membeli barang dan atau jasa
dari pelaku usaha pemasok,
2.Tidak akan membeli barang dan atau jasa
yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku
usaha pemasok.
Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
E. Hal – Hal Yang Dikecualikan Dalam UU Anti Monopoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5
Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan yaitu :
Pasal 50
1.Perbuatan dan atau perjanjian yang
bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas
kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain
produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta
perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
3.Perjanjian penetapan standar teknis produk
barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
4.Perjanjian dalam rangka keagenan yang
isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan
harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
5.Perjanjian kerja sama penelitian untuk
peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
6.Perjanjian internasional yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
7.Perjanjian dan atau perbuatan yang
bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar
dalam negeri;
8.Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha
kecil;
9.Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus
bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang
berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha
Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh
Pemerintah.
F. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi
amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga
hal pada UU tersebut :
Perjanjian yang dilarang
Yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain
untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan pemasaran barang atau jasa
yang dapat menyebabkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat
seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian
tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust
(persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat.
Kegiatan yang dilarang
Yaitu melakukan kontrol produksi dan
pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan
praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Posisi dominan
pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi
dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen,
atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur
pembuktian perseillegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan
pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga
melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal
berikut di masyarakat :
1.Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi
produsen sebagai price taker.
2.Keragaman produk dan harga dapat memudahkan
konsumen menentukan pilihan.
3.Efisiensi alokasi sumber daya alam.
4.Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga
tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli.
5.Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena
produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya.
6.Menjadikan harga barang dan jasa ideal,
secara kualitas maupun biaya produksi.
7.Membuka pasar sehingga kesempatan bagi
pelaku usaha menjadi lebih banyak.
8.Menciptakan inovasi dalam perusahaan.
G. Sanksi
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu
wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil
penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja
yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti
Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi
administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48
menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam
Pasal 49.
Pasal 48
1.Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4,
Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25,
Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp
25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 6 (enam) bulan.
2.Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5
sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26
Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (lima
miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar
rupiah), atau pidana penjara pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3.Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41
Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu
miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah),
atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48
dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :
1.Pencabutan izin usaha; atau
2.Larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
3.Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu
yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU
Antimonopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang
berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
BAB 13 - PENYELESAIAN SENGKETA
A. Negosiasi
Menurut Wikipedia pengertian negosiasi adalah
adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha
untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan.
Menurut Kamus Oxford pengertian negosiasi
adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.
Istilah negosiasi berasal dari bahasa Inggris
yakni “to negotiate” atau “to be negotiating” yang diartikan sebagai
merundingkan, membicarakan kemungkinan tentang suatu kondisi, dan atau menawar.
Secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai
bentuk interaksi sosial yang berfungsi untuk mencapai kesepakatan di antara
pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda.
Tujuan negosiasi
1.Mencapai kesepakatan yang memiliki kesamaan
persepsi, saling pengertian dan persetujuan.
2.Mencapai penyelesaian atau jalan keluar
dari masalah yang dihadapi secara bersama.
3.Mencapai kondisi saling menguntungkan dan
tidak ada yang dirugikan (win-win solution).
Manfaat negosiasi
1.Terciptanya suatu jalinan kerjasama antara
satu pihak dengan pihak lainnya untuk mencapai tujuan masing-masing.
2.Adanya saling pengertian antara
masing-masing pihak yang bernegosiasi mengenai kesepakatan yang akan diambil
dan dampaknya bagi semua pihak.
3.Negosiasi bermanfaat bagi terciptanya suatu
kesepakatan bersama yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang
bernegosiasi.
4.Terciptanya suatu interaksi yang positif
antara pihak-pihak yang bernegosiasi sehingga jalinan kerjasama akan
menghasilkan dampak yang lebih luas bagi banyak orang.
Jenis-jenis negosiasi
Negosiasi berdasarkan untung rugi :
Negosiasi Kolaborasi (win-win)
Pada negosiasi ini para negosiator berusaha
mencapai kesepakatan dengan menggabungkan kepentingan masing-masing.
Negosiasi Dominasi (win-lose)
Dalam negosiasi Dominasi negosiator
mendapatkan keuntungan besar dari kesepakatan yang dicapai. Sementara itu,
pihak lawan negosiasi mendapat keuntungan lebih kecil.
Negosiasi Akomodasi (lose-win)
Dalam negosiasi ini negosiator mendapatkan
keuntungan sangat kecil bahkan kerugian. Sementara itu, pihak lawan negosiasi
mendapat keuntungan sangat besar bahkan memperoleh keuntungan. Kerugian ini
dikarenakan kegagalan negosiator dalam bernegosiasi sehingga tidak memperoleh
keuntungan
Negosiasi Menghindari Konflik (lose-lose)
Dalam negosiasi lose-lose, kedua pihak
menghindari konflik yang muncul. Akibatnya, kedua pihak tidak bersepakat untuk
menyelesaikan konflik.
Negosiasi berdasarkan situasi :
Negosiasi Formal
Negosiasi formal merupakan negosiasi yang
terjado dalam situasi formal. Ciri-ciri negosiasi formal adalah adanya
perjanjian atau hitam di atas putih yang sah secara hukum. Oleh karena itu,
pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati dapat diperkarakan ke
ranah hukum. Contoh negosiasi formal adalah negosiasi antar dua perusahaan.
Negosiasi Non Formal atau Informal
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering
bernegosiasi. Negosiasi dapat terjadi kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa
saja. Misalnya negosiasi antara ayah dan anak. Negosiasi ini tidak membutuhkan
perjanjian khusus yang melibatkan hukum.
Negosiasi berdasarkan jumlah negosiator :
Negosiasi dengan Pihak Penengah
Negosiasi dilakukan oleh dua negosiator atau
lebih dan pihak penengah. Negosiator saling memberikan argumentasi. Pihak
penengah bertgas memberikan keputusn akhir dalam negosiasi tersebut. Contoh
negosiasi jenis ini adalah sidang di pengadilan. Pihak penggugat dan tergugat
adalah pihak yang bernegosiasi. Hakim berperan sebagai pihak penengah.
Negosiasi tanpa Pihak Pengengah
Negosiasi dilakikan oleh dua negosiator atau
lebih. Negosiasi dilakukan tanpa pihak penengah, sehingga keputusan negosiasi
tergantung pada pihak yang bernegosiasi.
Salah satu contoh negosiasi jenis ini adalah negosiasi antara perwakilan
OSIS dan pihak sponsor.
Proses Negosiasi
1.Pihak yang memiliki program (pihak pertama)
menyampaikan maksud dengan kalimat santun, jelas, dan terinci.
2.Pihak mitra bicara menyanggah mitra bicara
dengan santun dan tetap menghargai maksud pihak pertama.
3.Pemilik program mengemukakan argumentasi
dengan kalimat santun dan meyakinkan mitra bicara disertai dengan alasan yang
logis.
4.Terjadi pembahasan dan kesepakatan
terlaksananya program/ maksud negosiasi.
Kemampuan-kemampuan dasar bernegosiasi
Faktor yang paling berpengaruh dalam
negosiasi adalah filosofi yang menginformasikan bahwa masing-masing pihak yang
terlibat. Ini adalah kesepakatan dasar kita bahwa "semua orang
menang", filsafat ini menjadi dasar setiap negosiasi. Kunci untuk
mengembangkan filsafat supaya "semua orang menang" adalah dengan
mempertimbangkan setiap aspek negosiasi dari sudut pandang pada pihak lain dan
pihak negosiator.
Keterampilan dasar meliputi :
1.Ketajaman pikiran/kelihaian
2.Sabar
3.Kemampuan beradaptasi
4.Daya tahan
5.Kemampuan bersosialisasi
6.Konsentrasi
7.Kemampuan berartikulasi
8.Memiliki selera humor
B. Mediasi
Beberapa pengertian mediasi menurut beberapa
ahli adalah sebagai berikut :
Priatna Abdurrasyid
Menurut Priatna Abdurrasyid, Mediasi adalah
suatu proses damai di mana para pihak yang bersengketa menyerahkan
penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang mengatur pertemuan
antara pihak yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa
biaya besar tapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak
yang bersengketa. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping dan
penasihat.
Gary Goodpaster
Menurut Gary Goodpaster, Mediasi adalah
proses negosiasi pemecahan masalah yang dimana pihak luar yang impartial (tidak
memihak) dan juga netral bekerja dengan pihak yang bersengketa dalam membantu
mereka untuk memperoleh kesepaktan perjanjian dengan memuaskan.
Kamus Hukum Ekonomi ELIPS
Menurut Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, Mediasi
adalah salah satu dari alternatif yang bentuk penyelesaian sengketa yang berada
di luar pengadilan dengan menggunkan jasa seorang mediator ataupun penengah
sama misalnya konsiliasi. Mediator, penengah adalah seseorang yang menjalankan
fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang bersengketa dalam
menyelesaikan sengketanya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Menurut KBBI, Mediasi adalah proses yang
mengikutsertakan pihak ketiga untuk penyelesaian suatu perselisihan sebagai
penasihat.
Jenis-jenis mediasi
Secara umum, ada 2 (dua) jenis mediasi yaitu
dalam sistem peradilan dan mediasi di luar pengadilan. Berikut jenis-jenis
mediasi, yaitu :
Mediasi dalam Sistem Peradilan
Pasal 130 HIR menjelaskan bahwa mediasi dalam
sistem peradilan itu menghasilkan produk berupa akta persetujuan damai atau
akta perdamaian secara tertulis. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa:
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para
pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang
dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan tersebut wajib memuat
klausul-klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai (Pasal
17 ayat (1) dan (6)).
Mediasi di Luar Pengadilan
Mediasi ini merupakan bagian dari adat
istiadat atau budaya daerah tertentu dengan penyebutan dan tata cara
pelaksanaan yang berbeda sesuai budaya dan perilaku masyarakat. Hingga saat ini
cenderung masyarakat memilih demikian.
Mediasi-Arbitrase
Mediasi-arbitrase adalah bentuk alternatif
penyelesaian sengketa sebagai kombinasi mediasi dengan arbitrase. Pada jenis
ini, mediator diberi kewenangan untuk memutuskan setiap isu yang tidak dapat
diselesaikan oleh para pihak.
Mediasi Ad-Hoc dan Mediasi Kelembagaan
Pasal 6 ayat 4 UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi ad-hoc yang adanya
kesepakatan para pihak menentukan mediator penyelesaian perselisihan, yang
bersifat tidak permanen atau sementara. Sedangkan mediasi kelembagaan adalah
mediasi yang bersifat permanen atau melembaga yang dimana lembaga mediasi
menyediakan jasa mediator untuk membantu para pihak.
Tahapan mediasi
Beberapa tahapan mediasi adalah sebagai
berikut :
Mendefinisikan permasalahan, seperti :
Memulai proses mediasi
Mengungkap kepentingan tersembunyi
Merumuskan masalah dan menyusun agenda
Memecahkan permasalahan, seperti :
Mengembangkan pilihan (options)
Menganalisis pilihan
Proses tawar menawar akhir
Mencapai kesepakatan
Kelebihan mediasi
Proses cepat
Bersifat rahasia
Adil
Pemberdayaan individu
Keputusan yang hemat
Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu
Kekurangan mediasi
Tidak bersifat memaksa
Mediator kurang terjamin
Rentan gagal
Hal-hal yang harus dihindari dalam mediasi :
Ketidaksiapan mediator
Kehilangan kendali oleh mediator
Kehilangan netralitas
Mengabaikan emosi
C. Arbitrase
Arbitrase adalah salah satu cara atau proses
pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa tidak menggunakan jalur
pengadilan, namun berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis serta disepakati oleh para pihak lebih dari satu orang dan
pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
Beberapa pengertian arbitrase menurut beberapa ahli
adalah sebagai berikut :
Subekti (1992),
arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau
para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk atau menaati
keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.
Abdurrasyid (1996),
arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan
yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan
didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
Marwan dan Jimmy (2009), arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang hanya didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dimuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Harahap (1991),
arbitrase merupakan ikatan kesepakatan di antara para pihak, bahwa mereka akan
menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian oleh badan arbitrase.
Para pihak sepakat untuk tidak mengajukan persengketaan yang terjadi ke badan
peradilan.
Syarat Arbitrase
Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 30
Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui dan bisa
dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, jika telah memenuhi
persyaratan berikut ini :
1.Putusan arbitrase internasional dijatuhkan
oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara
Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
2.Putusan arbitrase internasional terbatas
pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang
lingkup hukum perdagangan.
3.Putusan arbitrase internasional hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban
umum.
4.Putusan arbitrase internasional dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Jenis-jenis Arbitrase
Menurut Emirzon (2011), berdasarkan
eksistensi dan kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa yang terjadi
antara para pihak yang bersengketa, terdapat dua jenis arbitrase yaitu
arbitrase institusional dan arbitrase adhoc.
Adapun penjelasan dari dua jenis arbitrase
tersebut adalah sebagai berikut :
Arbitrase Institusional (Permanent)
Arbitrase Institusional merupakan lembaga
atau badan arbitrase yang bersifat permanen, sehingga disebut juga permanent
arbitral body yaitu selain dikelola dan diorganisasikan secara tetap,
keberadaannya juga terus menerus untuk jangka waktu tidak terbatas. Ada
sengketa maupun tidak ada, lembaga tersebut akan tetap berdiri dan tidak akan
bubar, sekalipun setelah sengketa yang ditanganinya telah selesai diputus.
Didirikannya arbitrase ini dengan tujuan dalam rangka menyediakan sarana
penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan. Arbitrase institusional
pada umumnya dipilih oleh para pihak sebelum sengketa terjadi, yang dituangkan
dalam perjanjian arbitrase.
Arbitrase Adhoc (Volunteer)
Arbitrase Adhoc atau Volunteer merupakan
bentuk alternatif dari arbitrase institusional. Arbitrase adhoc adalah
arbitrase yang tidak diselenggarakan atau tidak melalui suatu badan atau lembaga
arbitrase tertentu (institutional arbitration). Arbitrase ini dilakukan oleh
tim-tim arbitrase yang sifatnya temporer dan hanya dibentuk secara insidential
untuk setiap sengketa yang terjadi. Para pihak dapat mengatur cara-cara
pelaksanaan pemilihan para arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan
aparatur administratif dari arbitrase.
Sumber Hukum Arbitrase
Beberapa sumber hukum arbitrase adalah
sebagai berikut :
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Berdasarkan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, dianut prinsip bahwa kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, dalam Pasal 58 Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan, upaya penyelesaian sengketa
perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan tersebut menunjukkan adanya
legalitas dan peran arbitrase dalam tata hukum Indonesia.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Arbitrase yang diatur dalam UU No. 30 Tahun
1999 merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang
didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Sengketa yang
dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa mengenai hak yang menurut
hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata
sepakat.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian
Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 merupakan
Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan
Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of
Invesment Disputes between States and National of Other States). Tujuan menetapkan
persetujuan ratifikasi atas konvensi tersebut adalah untuk mendorong dan
membina perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia.
Dengan pengakuan dan persetujuan atas Konvensi tersebut, Indonesia menempatkan
diri untuk tunduk pada ketentuan International Centre for the Settlement of
Investment Disputes Between States and Nationals of Other States (ICSID) yang
melahirkan Dewan Arbitrase ICSID.
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan
Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award
Peraturan lain yang menjadi sumber hukum
berlakunya arbitrase di Indonesia adalah Keputusan Presiden (Keppres) No. 34
Tahun 1981 yang ditetapkan tanggal 5 Agustus 1981. Ketentuan ini bertujuan
untuk memasukkan Convention on the Recognition and the Enforcement of Foreign
Arbitral Award atau yang lazim disebut Konvensi New York 1958, ke dalam tata
hukum di Indonesia.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun
1990 tanggal 1 Maret 1990, yang bertujuan untuk mengantisipasi hambatan atau
permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Alasan
dikeluarkannya Perma No. 1 Tahun 1990 tersebut adalah bahwa ketentuan-ketentuan
hukum acara perdata Indonesia sebagaimana diatur dalam HIR atau Reglemen
Indonesia yang Diperbaharui dan Reglement op de Rechtsvordering (Rv) tidak
memuat ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing.
UNCITRAL Arbitration Rules
Sumber hukum arbitrase lain yang sudah
dimasukkan ke dalam sistem hukum nasional Indonesia adalah UNCITRAL Arbitration
Rules. UNCITRAL dilahirkan sebagai Resolusi sidang Umum PBB Tanggal 15 Desember
1976 (Resolution 31/98 Adopted by the General Assembly in 15 December 1976).
Tujuan PBB melahirkan UNCITRAL adalah untuk mengglobalisasikan dan
menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara arbitrase dalam
menyelesaikan persengketaan yang terjadi dalam hubungan perdagangan
internasional.
Kelebihan Arbitrase
1.Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2.Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan
karena hal procedural dan administrative
3.Para pihak bisa memilih arbiter yang
menurut keyakinannya memiliki pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang
cukup mengenai maalah yang disengketakan, jujur dan adil.
4.Para pihak dapat menentukan pilihan hukum
untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase dan putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat
dilaksanakan
Kelemahan Arbitrase
1.Arbitrase belum dikenal secara luas, baik
oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis
sendiri.
2.Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang
memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga Arbitrase.
3.Lembaga Arbitrase dan ADR tidak memiliki
daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya.
4.Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap
hasil penyelesaian yang dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali
mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu,
perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
5.Kurangnya para pihak memegang etika bisnis.
Sebagai suatu mekanisme extra judicial, Arbitrase hanya bisa bertumpu di atas
etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.
D. Perbandingan Antara Perundingan, Abritrase
Dan Legitasi
Proses
|
Perundingan
|
Arbitrase
|
Legitasi
|
Yang mengatur
|
Para pihak
|
Arbiter
|
Hakim
|
Prosedur
|
Informal
|
Agak
formal sesuai dengan rule
|
Sangat
formal dan teknis
|
Jangka waktu
|
Segera
(3-6 minggu)
|
Agak cepat
(3-6 bulan)
|
Lama
(2 tahun lebih)
|
Biaya
|
Murah
(low
cost)
|
Terkadang
sangat mahal
|
Sangat
mahal
(expensive)
|
Aturan pembuktian
|
Tidak perlu
|
Agak informal
|
Sangat formal dan teknis
|
Publikasi
|
Konfidensial
|
Konfidensial
|
Terbuka
untuk umum
|
Hubungan para pihak
|
Kooperatif
|
Antagonis
|
Antagonis
|
Fokus penyelesaian
|
For
the future
|
Masa
lalu
(the
past)
|
Masa
lalu
(the
past)
|
Metode negosiasi
|
Kompromis
|
Sama keras pada prinsip hukum
|
Sama keras pada prinsip hukum
|
Komunikasi
|
Memperbaiki
yang sudah lalu
|
Jalan
buntu
(blocked)
|
Jalan
buntu
(blocked)
|
Result
|
Win-win
|
Win-lose
|
Win-lose
|
Pemenuhan
|
Sukarela
|
Selalu
ditolak dan mengajukan oposisi
|
Ditolak
dan mencari dalih
|
Suasana emosional
|
Bebas emosi
|
Emosional
|
Emosi bergejolak
|
Sumber :
http://www.infodanpengertian.com/2018/08/pengertian-konsumen-menurut-para-ahli.html#
https://www.kajianpustaka.com/2018/05/pengertian-tujuan-asas-perlindungan-konsumen.html
http://www.sangkoeno.com/2013/09/hak-dan-kewajiban-konsumen-serta-pelaku.html
https://www.jurnalhukum.com/perbuatan-yang-dilarang-bagi-pelaku-usaha/
https://rizkiimaments.wordpress.com/2011/05/23/tanggung-jawab-pelaku-usaha/
https://tulusramdhani.blogspot.com/2016/06/sanksi-pidana-bagi-pelaku-usaha-menurut.html
http://www.bragazul.com/2014/12/makalah-anti-monopoli-dan-persaingan.html
https://yayanxtpm1.blogspot.com/2016/03/negosiasi-pengertian-jenis-ciri-tujuan.html
https://www.pelajaran.id/2018/26/pengertian-dasar-hukum-tujuan-manfaat-jenis-dan-tahapan-mediasi.html
https://ray-x-heray.blogspot.com/2011/03/perbandingan-antara-perundingan.html