Jumat, 21 Juni 2019


“ Perlindungan Konsumen, Anti Monopoli Dan Persaingan Tidak Sehat Serta Penyelesaian Sengketa “


BAB 11 - PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Konsumen
Pengertian Konsumen Menurut Para Ahli
Menurut Sri Handayani (2012: 2) konsumen (sebagai alih bahasa dari consumen), secara harfiah berarti" seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa''; atau ''seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu'' juga ''sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang", ada pula yang memberikan arti lain yaitu konsumen adalah ''setiap orang yang menggunakan barang atau jasa dalam berbagai perundang-undangan negara”.

Sejalan dengan Sri Handayani, Az. Nasution (dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009: 25) juga menjelaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni:
Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;
Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);
Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Menurut Dewi (2013:1), konsumen adalah seseorang yang menggunakan produk dan atau jasa yang dipasarkan. Sedangkan kepuasan konsumen adalah sejauh mana harapan para pembelian seorang konsumen dipenuhi atau bahkan dilebihi oleh sebuah produk. Jika harapan konsumen tersebut dipenuhi maka ia akan merasa puas, dan jika melebihi harapan konsumen, maka konsumen akan merasa senang.

Pengertian Konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam bukunya Prinsiples Of Marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.

Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup (Shidarta, 2000:9).

Sedangkan menurut Sidobalok (2014:39), hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan Peraturan dan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

Perlindungan konsumen diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK 8/1999) tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban produsen/pelaku usaha, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban itu (Sidobalok, 2014:37).

Perintis adanya hukum perlindungan konsumen di Indonesia adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang didirikan pada 11 Mei 1973. YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada tahun 1990. Rancangan hukum perlindungan konsumen juga didukung oleh Departemen Perdagangan atas desakan lembaga keuangan internasional (IMF/International Monetary Fund) sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000 (Nasution, 1995:72).

B. Asas Dan Tujuan
Asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut :
Asas Manfaat
Segala upaya yang dilakukan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak boleh hanya salah satu pihak saja yang memperoleh manfaat, sedangkan pihak lain mendapatkan kerugian.
Asas Keadilan
Dalam hal ini, tidak selamanya sengketa konsumen di akibatkan oleh kesalahan pelaku usaha saja, tetapi bisa juga di akibatkan oleh kesalahan konsumen yang terkadang tidak tahu akan kewajibannya. Konsumen dan produsen/pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban secara seimbang.
Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pelaku usaha dan konsumen. Menghendaki konsumen, produsen/pelaku usaha dan pmerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.
Asas Keamanan dan Keselamatan
Asas ini bertujuan untuk memberikan adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.
Asas Kepastian Hukum
Asas ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Tanpa harus membebankan tanggung jawab kepada salah satu pihak, serta negara menjamin kepastian hukum.

Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah :
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.


C. Hak Dan Kewajiban Konsumen
Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Dengan keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, maka kepentingan-kepentingan itu dirumuskan dalam bentuk hak. Secara umum terdapat empat hak dasar konsumen yang diakui secara internasional yaitu: Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), Hak untuk memilih (the right to choose), Hak untuk didengar (the right to be heard) (Shidarta, 2000:16).

Hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut :
1.Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
2.Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3.Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan atau jasa.
4.Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.
5.Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6.Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7.Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8.Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9.Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
1.Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
2.Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa.
3.Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4.Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

D. Hak Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 hak dan kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut:
Hak Pelaku Usaha
1.Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
2.Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
3.Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
4.Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
5.Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Pelaku Usaha
1.Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2.Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
3.Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
4.Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutut barang dan atau jasa yang berlaku
5.Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat atau diperdagangkan
6.Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau pengganti atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
7.Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.


E. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha adalah larangan dalam memproduksi/memperdagangkan, larangan dalam menawarkan / mempromosikan / mengiklankan, larangan penjualan secara obral/lelang, dan larangan dalam ketentuan periklanan.

Larangan dalam Memproduksi/Memperdagangkan
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan dan/atau jasa yang :
1.Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang di persyaratkan dan ketentuan perundang-undangan
2.Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam lebel atau etiket barang tersebut.
3.Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan dalam menurut ukuran yang sebenarnya.
4.Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
5.Tidak seusai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolaan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan jasa tersebut.
6.Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan jasa tersebut.
7.Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
8.Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana dinyatakan “Halal” yang dicantumkan dalam label
9.Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan menurut ketentuan harus dipasang/dibuat
10.Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan prundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa informasi secara lengkap dan benar atasa barang yang dimaksud.
Sementara itu, pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atas larangan diatas, dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Larangan dalam Menawarkan / Mempromosikan / Mengiklankan
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatau barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
1.Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standart mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karajteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu
2.Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru
3.Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
4.Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi
5.Barang atau jasa tersebut tersedia
6.Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi
7.Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu
8.Barang tersebut berasal dari daerah tertentu
9.Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan jasa lain
10.Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap
11.Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Dengan demikian, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan, misalnya :
Harga atau tarif suatau barang atau jasa
Kegunaan suatu barang atau jasa
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa
Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan
Bahaya penggunaan barang atau jasa

Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa, dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang daoat menimbulkan gangguan, baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Sementara itu, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui pesanan dilarang, misalnya :
Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan
Tidak menepati janji atau suatu pelayanan atau prestasi


Larangan dalam Penjualan Secara Obral/Lelang
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen, antara lain :
1.Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standart mutu tertentu
2.Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi
3.Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain
4.Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang lain
5.Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup ddengan maksud menjual jasa yang lain
6.Menaikan harga atau tarif barang dan jasa sebelum melakukan obral.

Larangan dalam Periklanan
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan, misalnya :
1.Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang atau jasa.
2.Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang atau jasa tersebut
3.Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa
4.Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan atau jasa
5.Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan
6.Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan


F. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “produk yang cacat”, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan / jaminan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.

Di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 diatur Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Dalam Pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti rugi kerugian atau kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.

Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi berupa pengembalian uang, penggantian barang atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara itu, Pasal 20 dan 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan Pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidakya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19.

Dengan demikian, peradilan pidana kasus konsumen menganut sistem beban pembuktian terbalik. Jika pelaku usaha menolak atau tidak meberi tanggapan dan tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut Pasal 23 dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan ditempat kedudukan konsumen.

Pelaku usaha yang menjual barang atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila :
1.Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang atau jasa tersebut.
2.Pelaku usaha lain di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh mutu dan komposisi.
Pelaku usaha sebagaimana dimaksdu pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang atau jasa tersebut.

Di dalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang di derita konsumen, apabila:
1.Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan.
2.Cacat barang timbul pada kemudian hari. Cacat timbul di kemudian hari adalah seduah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan.
3.Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang. Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standardisasi yang telah ditetapkan pemerintah berdassrkan kesepakatan semua pihak.
4.Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
5.Lewatnya jangka waktu penentuan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah garansi.

G. Sanksi Pidana
Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa bagi pelaku usaha yang melanggar aturan terhadap konsumen maka dikenakan sanksi pidana.

Menurut UU Nomor 8 Tahun 1999, sanksi pidana yang dimaksud dijelaskan sebagai berikut :
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/ atau pengurusnya.

Pasal 62
(Ayat (1))
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Maksudnya adalah yang melanggar yang dimaksud oleh pasal 62 ayat (1) adalah pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian ( pasal 18 ayat 1 huruf b ).

(Ayat (2))
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, pasal 12, pasal 13 ayat (1), pasal 14, pasal 16, dan pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Maksudnya adalah yang melanggar yang dimaksud pasal 62 ayat (2) adalah pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.

(Ayat (3))
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
Perampasan barang tertentu;
Pengumuman keputusan hakim;
Pembayaran ganti rugi;
Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
Pencabutan izin usaha.

Sanksi Administratif dan Sanksi Perdata bagi Pelaku Usaha
Sanksi administratif bagi pelaku usaha dijelaskan dalam pasal 60 UU Nomor 8 Tahun 1999 sebagai berikut :
(Ayat (1))
Badan penyelesaian sengketa konsumen menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar pasal 19ayat (2) dan ayat (3), pasal 20, pasal 25 dan pasal 26.

(Ayat (2))
Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(Ayat (3))
Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Sanksi perdata bagi pelaku usaha yang melanggar adalah ganti rugi dalam bentuk :
Pengembalian uang atau
Penggantian barang atau
Perawatan kesehatan, dan/atau
Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.

Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.

Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyakRp.500 juta rupiah.

Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian.

Sanksi Bagi Konsumen
Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tidak dicantumkan tentang sanksi konsumen karena UU tersebut khusus dibuat untuk melindungi konsumen. Namun, apabila konsumen melakukan pelanggaran seperti penipuan, pencemaran nama baik dan lain-lain, maka hal tersebut termasukWanprestasi, yaitu tidak dilaksanakannya suatu perjanjian atau kewajiban sebagaimana yang telah disepakati bersama (cidera janji). Apabila hal tersebut terjadi, maka produsen atau pelaku usaha berhak untuk menuntut konsumen sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan konsumen. Tuntutan tersebut dapat berupa ganti rugi kepada pelaku usaha sampai dengan hukuman pidana kurungan. Pelaku usaha juga memiliki hak untuk mendapatkan kembali pemulihan nama baik usahanya.


BAB 12 - ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT

A. Pengertian
Secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani ‘Monos’ yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas memberi pengertian monopoli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu. (Arie Siswanto:2002).

Disamping istilah monopoli di USA sering digunakan kata “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”. Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana di pasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 382 bis KUH Pidana.

Berdasarkan rumusan Pasal 382 bis KUH Pidana, seseorang dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus ribu rupiah atas tindakan persaingan curang bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut :
1.Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang.
2.Perbuatan persaingan curang dilakukan dalam rangka mendapatkan, melangsungkan, dan memperluas hasil dagangan atau perusahaan.
3.Perusahaan, baik milik pelaku maupun perusahaan lain, diuntungkan karena persaingan curang tersebut.
4.Perbuatan persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu.
5.Akibat dari perbuatan persaingan curang tersebut menimbulkan kerugian bagi konkruennya dari orang lain yang diuntungkan dengan perbuatan pelaku.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa, jika kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian praktik monopoli harus dibuktikan dahulu adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.


B. Asas Dan Tujuan
Dalam melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan umum dan pelaku usaha.

Sementara itu tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1.Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2.Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil.
3.Mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4.Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.


C. Kegiatan Yang Dilarang
Dalam UU No.5 Tahun 1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.

Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan pemasaran barang atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Undang-undang no.5 tahun 1999 merumuskan beberapa kriteria sebagai berikut :
1.Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2.Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana maksud dalam ayat (a) apabila: barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya;
3.Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk dalam persaingan dan atau jasa yang sama; atau
4.Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 % (lima puluh persen) pasangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu.

Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur tentang larangan praktik monopsoni, yaitu sebagai berikut.
1.Pelaku usaha dilarang melakukan menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2.Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (a) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Penguasaan Pasar
Di dalam UU no.5 tahun 1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
1.Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
2.Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
3.Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
4.Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Persengkongkolan
Persekongkolan berarti berkomplot atau bersepakat melakukan kecurangan. Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU Nomor 5 Th. 1999 dalam Pasal 22 sampai Pasal 24, yaitu sebagai berikut :
1.Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
2.Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan.
3.Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengahambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaing dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan menjadi berkurang, baik jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang disyaratkan.

Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.

Persentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi dominan sebagaimana ketentuan di atas adalah sebagai berikut :
1.Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2.Dua atau tiga pelaku usaha satau satu kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa.

Jabatan rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan direksi atau komisaris suatu perusahaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris perusahaan lain pada waktu yang bersamaan apabila :
1.Berada dalam pasar bersangkutan yang sama.
2.Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha.
3.Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Pemilikan saham
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama bila kepemilikan tersebut mengakibatkan persentase penguasaan pasar yang dapat dikatakan menggunakan posisi dominan (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 27).

Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam menjalankan perusahaan, pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum, yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus-menerus dengan tujuan mencari laba, secara tegas dilarang melakukan tindakan penggabungan , peleburan, dan pengambilalihan yang berakibat praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 28). Hanya penggabungan yang bersifat vertikal yang dapat dilakukan sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 14.

D. Perjanjian Yang Dilarang
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5 tahun 1999 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5 Tahun 1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.

Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Anti Monopoli .

Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5 Tahun 1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut :
Oligopoli
Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang berjumlah sedikit sehingga dapat mempengaruhi pasar, maka:

1.Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha dengan secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
2.Pelaku usaha patut diduga melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa bila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
1.Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
2.Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
3.Perjanjian dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
4.Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari harga yang telah dijanjikan.

Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.

Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat :
1.Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain,
2.Membatasi pelaku usaha lain dalam menjaul atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.

Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa.

Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap perusahaan atau peseroan anggotanya yang bertujuan mengontrol produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.

Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam suatu pasar komoditas, diantaranya :
1.Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai pembelian atau penerimaan pasokan secara bersama-sama agar dapat mengendalikan harga barang atau jasa dalam pasar yang bersangkutan.
2.Pelaku usaha dapat diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau tempat tertentu.

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku.

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain :
1.Harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok,
2.Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

E. Hal – Hal Yang Dikecualikan Dalam UU Anti Monopoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan yaitu :
Pasal 50
1.Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
3.Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
4.Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
5.Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
6.Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
7.Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
8.Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
9.Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

F. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut :
Perjanjian yang dilarang
Yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan pemasaran barang atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
Kegiatan yang dilarang
Yaitu melakukan kontrol produksi dan pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Posisi dominan
pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.

Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian perseillegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.

Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :
1.Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker.
2.Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan.
3.Efisiensi alokasi sumber daya alam.
4.Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli.
5.Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya.
6.Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi.
7.Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak.
8.Menciptakan inovasi dalam perusahaan.

G. Sanksi
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.

Pasal 48
1.Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
2.Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana penjara pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3.Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :
1.Pencabutan izin usaha; atau
2.Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
3.Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

Aturan ketentuan pidana di dalam UU Antimonopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.

BAB 13 - PENYELESAIAN SENGKETA

A. Negosiasi
Menurut Wikipedia pengertian negosiasi adalah adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan.

Menurut Kamus Oxford pengertian negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.

Istilah negosiasi berasal dari bahasa Inggris yakni “to negotiate” atau “to be negotiating” yang diartikan sebagai merundingkan, membicarakan kemungkinan tentang suatu kondisi, dan atau menawar.

Secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai bentuk interaksi sosial yang berfungsi untuk mencapai kesepakatan di antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda.

Tujuan negosiasi
1.Mencapai kesepakatan yang memiliki kesamaan persepsi, saling pengertian dan persetujuan.
2.Mencapai penyelesaian atau jalan keluar dari masalah yang dihadapi secara bersama.
3.Mencapai kondisi saling menguntungkan dan tidak ada yang dirugikan (win-win solution).

Manfaat negosiasi
1.Terciptanya suatu jalinan kerjasama antara satu pihak dengan pihak lainnya untuk mencapai tujuan masing-masing.
2.Adanya saling pengertian antara masing-masing pihak yang bernegosiasi mengenai kesepakatan yang akan diambil dan dampaknya bagi semua pihak.
3.Negosiasi bermanfaat bagi terciptanya suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang bernegosiasi.
4.Terciptanya suatu interaksi yang positif antara pihak-pihak yang bernegosiasi sehingga jalinan kerjasama akan menghasilkan dampak yang lebih luas bagi banyak orang.

Jenis-jenis negosiasi
Negosiasi berdasarkan untung rugi :
Negosiasi Kolaborasi (win-win)
Pada negosiasi ini para negosiator berusaha mencapai kesepakatan dengan menggabungkan kepentingan masing-masing.
Negosiasi Dominasi (win-lose)
Dalam negosiasi Dominasi negosiator mendapatkan keuntungan besar dari kesepakatan yang dicapai. Sementara itu, pihak lawan negosiasi mendapat keuntungan lebih kecil.
Negosiasi Akomodasi (lose-win)
Dalam negosiasi ini negosiator mendapatkan keuntungan sangat kecil bahkan kerugian. Sementara itu, pihak lawan negosiasi mendapat keuntungan sangat besar bahkan memperoleh keuntungan. Kerugian ini dikarenakan kegagalan negosiator dalam bernegosiasi sehingga tidak memperoleh keuntungan
Negosiasi Menghindari Konflik (lose-lose)
Dalam negosiasi lose-lose, kedua pihak menghindari konflik yang muncul. Akibatnya, kedua pihak tidak bersepakat untuk menyelesaikan konflik.

Negosiasi berdasarkan situasi :
Negosiasi Formal
Negosiasi formal merupakan negosiasi yang terjado dalam situasi formal. Ciri-ciri negosiasi formal adalah adanya perjanjian atau hitam di atas putih yang sah secara hukum. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati dapat diperkarakan ke ranah hukum. Contoh negosiasi formal adalah negosiasi antar dua perusahaan.
Negosiasi Non Formal atau Informal
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering bernegosiasi. Negosiasi dapat terjadi kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja. Misalnya negosiasi antara ayah dan anak. Negosiasi ini tidak membutuhkan perjanjian khusus yang melibatkan hukum.

Negosiasi berdasarkan jumlah negosiator :
Negosiasi dengan Pihak Penengah
Negosiasi dilakukan oleh dua negosiator atau lebih dan pihak penengah. Negosiator saling memberikan argumentasi. Pihak penengah bertgas memberikan keputusn akhir dalam negosiasi tersebut. Contoh negosiasi jenis ini adalah sidang di pengadilan. Pihak penggugat dan tergugat adalah pihak yang bernegosiasi. Hakim berperan sebagai pihak penengah.
Negosiasi tanpa Pihak Pengengah
Negosiasi dilakikan oleh dua negosiator atau lebih. Negosiasi dilakukan tanpa pihak penengah, sehingga keputusan negosiasi tergantung pada pihak yang bernegosiasi.  Salah satu contoh negosiasi jenis ini adalah negosiasi antara perwakilan OSIS dan pihak sponsor.

Proses Negosiasi
1.Pihak yang memiliki program (pihak pertama) menyampaikan maksud dengan kalimat santun, jelas, dan terinci.
2.Pihak mitra bicara menyanggah mitra bicara dengan santun dan tetap menghargai maksud pihak pertama.
3.Pemilik program mengemukakan argumentasi dengan kalimat santun dan meyakinkan mitra bicara disertai dengan alasan yang logis.
4.Terjadi pembahasan dan kesepakatan terlaksananya program/ maksud negosiasi.

Kemampuan-kemampuan dasar bernegosiasi
Faktor yang paling berpengaruh dalam negosiasi adalah filosofi yang menginformasikan bahwa masing-masing pihak yang terlibat. Ini adalah kesepakatan dasar kita bahwa "semua orang menang", filsafat ini menjadi dasar setiap negosiasi. Kunci untuk mengembangkan filsafat supaya "semua orang menang" adalah dengan mempertimbangkan setiap aspek negosiasi dari sudut pandang pada pihak lain dan pihak negosiator.
Keterampilan dasar meliputi :
1.Ketajaman pikiran/kelihaian
2.Sabar
3.Kemampuan beradaptasi
4.Daya tahan
5.Kemampuan bersosialisasi
6.Konsentrasi
7.Kemampuan berartikulasi
8.Memiliki selera humor

B. Mediasi
Beberapa pengertian mediasi menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
Priatna Abdurrasyid
Menurut Priatna Abdurrasyid, Mediasi adalah suatu proses damai di mana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang mengatur pertemuan antara pihak yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa biaya besar tapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping dan penasihat.

Gary Goodpaster
Menurut Gary Goodpaster, Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah yang dimana pihak luar yang impartial (tidak memihak) dan juga netral bekerja dengan pihak yang bersengketa dalam membantu mereka untuk memperoleh kesepaktan perjanjian dengan memuaskan.

Kamus Hukum Ekonomi ELIPS
Menurut Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, Mediasi adalah salah satu dari alternatif yang bentuk penyelesaian sengketa yang berada di luar pengadilan dengan menggunkan jasa seorang mediator ataupun penengah sama misalnya konsiliasi. Mediator, penengah adalah seseorang yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia
Menurut KBBI, Mediasi adalah proses yang mengikutsertakan pihak ketiga untuk penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.

Jenis-jenis mediasi
Secara umum, ada 2 (dua) jenis mediasi yaitu dalam sistem peradilan dan mediasi di luar pengadilan. Berikut jenis-jenis mediasi, yaitu :
Mediasi dalam Sistem Peradilan
Pasal 130 HIR menjelaskan bahwa mediasi dalam sistem peradilan itu menghasilkan produk berupa akta persetujuan damai atau akta perdamaian secara tertulis. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa:
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan tersebut wajib memuat klausul-klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai (Pasal 17 ayat (1) dan (6)).
Mediasi di Luar Pengadilan
Mediasi ini merupakan bagian dari adat istiadat atau budaya daerah tertentu dengan penyebutan dan tata cara pelaksanaan yang berbeda sesuai budaya dan perilaku masyarakat. Hingga saat ini cenderung masyarakat memilih demikian.

Mediasi-Arbitrase
Mediasi-arbitrase adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa sebagai kombinasi mediasi dengan arbitrase. Pada jenis ini, mediator diberi kewenangan untuk memutuskan setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak.

Mediasi Ad-Hoc dan Mediasi Kelembagaan
Pasal 6 ayat 4 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi ad-hoc yang adanya kesepakatan para pihak menentukan mediator penyelesaian perselisihan, yang bersifat tidak permanen atau sementara. Sedangkan mediasi kelembagaan adalah mediasi yang bersifat permanen atau melembaga yang dimana lembaga mediasi menyediakan jasa mediator untuk membantu para pihak.

Tahapan mediasi
Beberapa tahapan mediasi adalah sebagai berikut :
Mendefinisikan permasalahan, seperti :
Memulai proses mediasi
Mengungkap kepentingan tersembunyi
Merumuskan masalah dan menyusun agenda
Memecahkan permasalahan, seperti :
Mengembangkan pilihan (options)
Menganalisis pilihan
Proses tawar menawar akhir
Mencapai kesepakatan

Kelebihan mediasi
Proses cepat
Bersifat rahasia
Adil
Pemberdayaan individu
Keputusan yang hemat
Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu

Kekurangan mediasi
Tidak bersifat memaksa
Mediator kurang terjamin
Rentan gagal

Hal-hal yang harus dihindari dalam mediasi :
Ketidaksiapan mediator
Kehilangan kendali oleh mediator
Kehilangan netralitas
Mengabaikan emosi

C. Arbitrase
Arbitrase adalah salah satu cara atau proses pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa tidak menggunakan jalur pengadilan, namun berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis serta disepakati oleh para pihak lebih dari satu orang dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.

Beberapa pengertian arbitrase menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
Subekti (1992), arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.

Abdurrasyid (1996), arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.

Marwan dan Jimmy (2009), arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang hanya didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dimuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Harahap (1991), arbitrase merupakan ikatan kesepakatan di antara para pihak, bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian oleh badan arbitrase. Para pihak sepakat untuk tidak mengajukan persengketaan yang terjadi ke badan peradilan.

Syarat Arbitrase
Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui dan bisa dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, jika telah memenuhi persyaratan berikut ini :
1.Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
2.Putusan arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
3.Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
4.Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Jenis-jenis Arbitrase
Menurut Emirzon (2011), berdasarkan eksistensi dan kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa, terdapat dua jenis arbitrase yaitu arbitrase institusional dan arbitrase adhoc.
Adapun penjelasan dari dua jenis arbitrase tersebut adalah sebagai berikut :
Arbitrase Institusional (Permanent)
Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen, sehingga disebut juga permanent arbitral body yaitu selain dikelola dan diorganisasikan secara tetap, keberadaannya juga terus menerus untuk jangka waktu tidak terbatas. Ada sengketa maupun tidak ada, lembaga tersebut akan tetap berdiri dan tidak akan bubar, sekalipun setelah sengketa yang ditanganinya telah selesai diputus. Didirikannya arbitrase ini dengan tujuan dalam rangka menyediakan sarana penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan. Arbitrase institusional pada umumnya dipilih oleh para pihak sebelum sengketa terjadi, yang dituangkan dalam perjanjian arbitrase.

Arbitrase Adhoc (Volunteer)
Arbitrase Adhoc atau Volunteer merupakan bentuk alternatif dari arbitrase institusional. Arbitrase adhoc adalah arbitrase yang tidak diselenggarakan atau tidak melalui suatu badan atau lembaga arbitrase tertentu (institutional arbitration). Arbitrase ini dilakukan oleh tim-tim arbitrase yang sifatnya temporer dan hanya dibentuk secara insidential untuk setiap sengketa yang terjadi. Para pihak dapat mengatur cara-cara pelaksanaan pemilihan para arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan aparatur administratif dari arbitrase.

Sumber Hukum Arbitrase
Beberapa sumber hukum arbitrase adalah sebagai berikut :
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Berdasarkan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dianut prinsip bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, dalam Pasal 58 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan, upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan tersebut menunjukkan adanya legalitas dan peran arbitrase dalam tata hukum Indonesia.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Arbitrase yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 merupakan Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Invesment Disputes between States and National of Other States). Tujuan menetapkan persetujuan ratifikasi atas konvensi tersebut adalah untuk mendorong dan membina perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Dengan pengakuan dan persetujuan atas Konvensi tersebut, Indonesia menempatkan diri untuk tunduk pada ketentuan International Centre for the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States (ICSID) yang melahirkan Dewan Arbitrase ICSID.
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award
Peraturan lain yang menjadi sumber hukum berlakunya arbitrase di Indonesia adalah Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1981 yang ditetapkan tanggal 5 Agustus 1981. Ketentuan ini bertujuan untuk memasukkan Convention on the Recognition and the Enforcement of Foreign Arbitral Award atau yang lazim disebut Konvensi New York 1958, ke dalam tata hukum di Indonesia.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1990 tanggal 1 Maret 1990, yang bertujuan untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Alasan dikeluarkannya Perma No. 1 Tahun 1990 tersebut adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum acara perdata Indonesia sebagaimana diatur dalam HIR atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui dan Reglement op de Rechtsvordering (Rv) tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing.
UNCITRAL Arbitration Rules
Sumber hukum arbitrase lain yang sudah dimasukkan ke dalam sistem hukum nasional Indonesia adalah UNCITRAL Arbitration Rules. UNCITRAL dilahirkan sebagai Resolusi sidang Umum PBB Tanggal 15 Desember 1976 (Resolution 31/98 Adopted by the General Assembly in 15 December 1976). Tujuan PBB melahirkan UNCITRAL adalah untuk mengglobalisasikan dan menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara arbitrase dalam menyelesaikan persengketaan yang terjadi dalam hubungan perdagangan internasional.

Kelebihan Arbitrase
1.Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2.Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administrative
3.Para pihak bisa memilih arbiter yang menurut keyakinannya memiliki pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai maalah yang disengketakan, jujur dan adil.
4.Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase dan putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan

Kelemahan Arbitrase
1.Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri.
2.Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga Arbitrase.
3.Lembaga Arbitrase dan ADR tidak memiliki daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya.
4.Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil penyelesaian yang dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
5.Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, Arbitrase hanya bisa bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.


D. Perbandingan Antara Perundingan, Abritrase Dan Legitasi

Proses
Perundingan
Arbitrase
Legitasi
Yang mengatur
Para pihak
Arbiter
Hakim
Prosedur
Informal
Agak formal sesuai dengan rule
Sangat formal dan teknis
Jangka waktu
Segera
(3-6 minggu)
Agak cepat
(3-6 bulan)
Lama
(2 tahun lebih)
Biaya
Murah
(low cost)
Terkadang sangat mahal
Sangat mahal
(expensive)
Aturan pembuktian
Tidak perlu
Agak informal
Sangat formal dan teknis
Publikasi
Konfidensial
Konfidensial
Terbuka untuk umum
Hubungan para pihak
Kooperatif
Antagonis
Antagonis
Fokus penyelesaian

For the future
Masa lalu
(the past)
Masa lalu
(the past)
Metode negosiasi
Kompromis
Sama keras pada prinsip hukum
Sama keras pada prinsip hukum
Komunikasi
Memperbaiki yang sudah lalu
Jalan buntu
(blocked)
Jalan buntu
(blocked)
Result
Win-win
Win-lose
Win-lose
Pemenuhan
Sukarela
Selalu ditolak dan mengajukan oposisi
Ditolak dan mencari dalih
Suasana emosional
Bebas emosi
Emosional
Emosi bergejolak






Sumber :
http://www.infodanpengertian.com/2018/08/pengertian-konsumen-menurut-para-ahli.html#
https://www.kajianpustaka.com/2018/05/pengertian-tujuan-asas-perlindungan-konsumen.html
http://www.sangkoeno.com/2013/09/hak-dan-kewajiban-konsumen-serta-pelaku.html
https://www.jurnalhukum.com/perbuatan-yang-dilarang-bagi-pelaku-usaha/
https://rizkiimaments.wordpress.com/2011/05/23/tanggung-jawab-pelaku-usaha/
https://tulusramdhani.blogspot.com/2016/06/sanksi-pidana-bagi-pelaku-usaha-menurut.html
http://www.bragazul.com/2014/12/makalah-anti-monopoli-dan-persaingan.html
https://yayanxtpm1.blogspot.com/2016/03/negosiasi-pengertian-jenis-ciri-tujuan.html
https://www.pelajaran.id/2018/26/pengertian-dasar-hukum-tujuan-manfaat-jenis-dan-tahapan-mediasi.html
https://ray-x-heray.blogspot.com/2011/03/perbandingan-antara-perundingan.html